Monday, April 30, 2007

Pramoedya Ananta Toer


Pada masa colonial,dia dipenjara karena keberpihakannya pada kemerdekaan bangsa ini
Pada masa Soekarno dipenjara karena menulis buku Hoakiau di Indonesia-wujud keberpihakan pada kebenaran sejarah dan keadilan bagi kaum minoritas.
Pada masa Soeharto 14 tahun lebih dipenjara tanpa pernah diadili karena perannya sebagai eksponen Lembaga Kebudayaan Rakyat(Lekra)yang dianggap sebagai onderbouw komunis.

Tentang pengasingannya di Pulau Buru tanpa ada pengadilan.
“Tapi dia(Soeharto) pernah kirim surat.Dia bilang,kesalahan itu manusiawi…”
(Playboy interview:Pramoedya Ananta Toer-April 2006)

Penghargaan:
1988,Freedom to Write Award dari PEN American Center
1989,The Fund for Free Expression-Amerika Serikat
1995,Wertheim Award-Belanda
1995,Ragmon Magsaysay Award-Philipina
1996,Partai Demokratik Rakyat Award
1996,Unesco Madanjeet Singh Prize
1999,doctor of humane letters dari University of Michigan,Madison,AS
1999,Chancellers Distinguihed Honor Award dari Universitas of California,
Berkeley,AS
1999,Chevalier de l”Ordre des Art et des Letters
dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Perancis
2000,New York Foundation for The Art Award,AS
2000,Fukuoka Cultural Grand Prize,Jepang
2004,Presidential Medals of Honor for Pablo Neruda Centennial,Cile

Berkali ulang penulis novel Koroepsi(1954) itu diunggulkan untuk menerima hadiah Nobel Kesusastraan.Namun konon karena lobi pemerintah Soeharto,suami Maemunah Thamrin,kemenakan pahlawan nasional Mohamad Husni Thamrin,itu tak pernah mendapat anugerah tersebut.
(Tinggalkan Bumi Manusia-Suara Merdeka 1-5-2006)

“Tahun 2003,nama Pram sebagai calon penerima Nobel sangat kencang berembus di Swedia.”
Dukungan rakyat dan Pemerintah Indonesia terhadapnya amat minim.Kenangan tentang Pram bagi sebagian generasi muda bisa jadi hanya sebatas identitasnya sebagai bekas anggota sebuah organisasi seniman yang berafiliasi ke partai komunis(Lekra).Ini juga menandakan kegagalan pelajaran sastra dan sejarah di sekolah-sekolah yang telah terkooptasi oleh fantasi dan ketakutan-ketakutan akan bangkitnya komunisme sejak zaman orba.

Kadang saya melihat adanya ambivalensi pemimpin-pemimpin kita.Ketika meresmikan pameran hasil kerajinan rakyat,misalnya,seringkali mereka dengan fasih berpidato bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai karya bangsanya.Sayang,hal itu hanya retorika politik dan terbatas pada kegiatan ekonomi yang mendukung pemasukan Negara.

Tahun 2003,nama Pram sebagai calon penerima Nobel sangat kencang berembus di Swedia.Pada tahun itu ,Pram mengunjungi pameran buku di kota Gotenburg atas undangan pihak Swedia.Sebagai mantan wartawan,saya menyayangkan dan hanya dapat berandai-andai.Seharusnya Pemerintah Indonesia via KBRI di Swedia mampu menggunakan kesempatan itu untuk mengorbitkan nama Pram lebih tinggi lagi.Itu kalau Pram dianggap sebagai asset bangsa.
(Pram,Nobel,dan Lemahnya “PR”Kita oleh Nina Mussolini-Hanson,Kompas3-5-2006)